Mohammad Hatta dan Soekarno dikenal sebagai dwitunggal, duet proklamator dan pahlawan kemerdekaan Republik Indonesia. Saat Hatta mundur dari posisi Wakil Presiden tahun 1956, banyak yang tidak menyangka dwitunggal itu bisa berpisah.
Tapi itulah politik. Orang bilang tak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik.Banyak sebab keduanya berpisah. Hatta dan Soekarno banyak berselisih soal politik. Hatta tak menyukai kepemimpinan sentralistik yang dilakukan Soekarno. Hatta juga menilai Soekarno feodal dan otoriter. Sebaliknya, Soekarno tak menyukai sistem multipartai yang menimbulkan banyak pertentangan politik di dalamnya. Seperti diketahui, Hatta lah yang menandatangani Dekrit Wakil Presiden no X tahun 1945 yang menganjurkan pembentukan partai politik.
Hatta juga tak setuju dengan gaya hidup Soekarno yang beristri lebih dari satu. Seperti diketahui, Hatta sangat puritan dan penuh aturan jika menyangkut hubungan dengan lawan jenis.Gaya hidup Hatta tetap sederhana. Istri Hatta bahkan tidak mampu membeli mesin jahit impiannya. Begitu pula dengan Hatta yang memimpikan sepasang sepatu Bally. Hanya sepasang sepatu, tapi mantan wakil presiden ini tak kunjung bisa membelinya.
Perseteruan Hatta dan Soekarno berlanjut. Hatta berdiri tegak di luar pemerintahan. Lewat orasi ilmiah serta tulisan di surat kabar, dia mengkritik Soekarno yang makin otoriter. Soekarno membalasnya dengan membredel koran dan majalah yang dianggapnya mengkritik dirinya.Di panggung politik keduanya saling menyerang. Tapi di kehidupan pribadi, keduanya tetap bersahabat. Ajudan Soekarno, Kolonel Bambang Widjanarko melukiskan kisah persahabatan dua pria itu.
Hatta mengunjungi Soekarno ketika sakit, begitu pula sebaliknya. Saat Soekarno ditumbangkan Orde Baru dan menjadi tahanan rumah, Hatta pula yang menjadi wali nikah bagi putra Soekarno, Guntur tahun 1970.Hatta juga mengunjungi Soekarno menjelang akhir hayatnya. Pertemuan terakhir dua sahabat itu konon begitu mengharukan. Tidak banyak kata yang terucap. Tapi keduanya telah saling mengerti dan saling memaafkan. Beberapa hari setelah pertemuan itu, Soekarno meninggal.
Giliran Soekarno yang meninggalkan Hatta. Kali ini untuk selama-lamanya. Sejarah mencatat dengan tinta emas keduanya sama-sama menjalani hari-hari tersulit di Republik ini. Sebuah masa yang hanya diperuntukkan untuk para pahlawan dan mereka yang mengisinya dengan darah dan keringat.
Di sebuah rumah, saat diasingkan di Pulau Banda, Hatta pernah menulis. “Pemimpin berarti suri tauladan di setiap perbuatannya.” Dan Hatta melaksanakan itu hingga akhir hayatnya.
No comments:
Post a Comment