Monday, May 20, 2013

Asal Usul Sambal



Rasanya makan kurang lengkap tanpa ditemani sambal, itulah barangkali yang menjadi anggapan kebanyakan masyarakat nusantara. Hampir seluruh masakan di Indonesia selalu dilengkapi dengan sambal. Pisang pun dimakan dengan samabal, itulah yang terjadi di Manado. Jika tidak ada sambal, beberapa potong irisan cabe dan cabe rawit pun jadi.


Kebiasaan makan sambal ini tak ayal terbawa ke luar negeri. Rasa hambar tanpa sambal menjadi alasan. Lidah lokal pun sering protes jika sambalnya tak sepedas sambal negeri sendiri. Sambal botolan pun jadi pilihan untuk dibawa, dari pada ngulek sendiri, harus bawa cobek pula. Tentu akan meberatkan bagasi.
Sambal begitu populer di Nusantara dan nyaris menjadi makanan utama, bukan sekedar pelengkap. Hal ini dikarenakan seni kuliner Nusantara bersifat koud eten (hidangan dingin). Cabai menjadi penting dalam setiap masakan karena rasa pedas cabe tidak hanya memberikan rasa yang menggugah selera tetapi juga sebagai pengganti temperatur panas.
Dokter VOC yang juga dokter pribadi Jan Pieterszoon Coen, Jacob de Bondt Alias Bontius pernah menyebut adanya Ricino Brasiliensi atau lada Chili vocato. Menurutnya ini adalah cabai merah atau yang dikenal sebagai cabai Brazil. Orang Brazil sendiri menyebutn cabai Chili lada. Ada juga yang berpendapat bahwa asal kata nama ricino dari recche atau reche yang berasal dari bahasa Portugis. Kata ini mengingatkan kita pada kata rica yang juga mengacu pada cabai atau lombok. Kata ini juga mengingatkan kita pada rica-rica, masakan khas Menado. Namun menurut pendeta P.J Veth kata reche  tidak ditemui dalam kamus Portugis. Veth berpendapat bahwa yang disebut Spaanse peper, cabai Spanyol adalah Capsicum alias cabai Brazil. Pendapatnya ini menolak anggapan bila cabai dibawa oleh orang Portugis dari ke Hindia Timur pada akhir abad ke-16.



Pendapat Veth beralasan bahwa cabai pun telah ada sebelumnya. Seperti hal nya yang diungkapkan oleh Arkeolog Titi Surti Nastiti bahwa cabai pada masa Jawa Kuno telah menjadi komoditas perdagangan yang langsung dijual. Bahkan dalam teks Ramayana dari abad ke-10, cabai juga sudah disebut sebagai salah satu contoh jenis makanan.
Namun, setidaknya kata reche atau ritsjes pernah populer pada 1669 yang dapat diketahui dari syair Van Overbeeke di Batavia: Soya, Gengber, Loock en Ritsjes Maeckt de maegh wel scharp en spitsjes (Kedelai, jahe, Bawang putih dan cabai Membuat perut melilit karena pedas dan diaduk-aduk)
Menurut Pendeta Valentijn ada tiga jenis cabai merah yaitu cabai merah besar, cabai merah kecil dan cabai kecil yang berwarna kekuningan.

Ada cerita yang mengerikan berkaitang dengan cabai. Konon, pada akhir abad ke-19, cabai digunakan untuk menghukum kuli kontrak perempuan. Jan Breman dalam Koelies, planters en koloniale politiek, Het arbeidregime op de grootlandbouwondernemingan aan Sumatras Oostkust in het begin van de twintigste eeuw (1992) menuliskan bahwa para kuli perempuan itu diikat di tonggak berposisi salib, lalu kemaluan mereka digosok dengan cabai.

Sebaliknya para budak yang mahir membuat sambal mendapatkan tempat khusus karena disenangi para majikannya. Hal tersebut membuat harga pasaran mereka menjadi cukup tinggi.
Dalam beberapa buku panduan turisme dituliskan peringatan kepada para calon turis agar berhati-hati dalam menyantap sambal yang pedas karena bisa mempengaruhi kesehatan perut.
Namun, tetap saja ada turis yang tetap nekat menyantap sambal. Seperti pengalaman dari Justus van Maurik, pengusaha cerutu asal Amsterdam yang mengunjungi Batavia akhir abad ke-19. I
Salah satu dari hidangan dalam rijsttafel yang menarik perhatian saya adalah Spaanse peper (lada Spanyol/cabai rawit). Suatu kali saya pernah melihat seorang nona muda dengan pipinya yang kemerahan menikmati lada spanyol seperti menikmati permen bon-bon. Matanya tidak berair. Rasanya, saya tak akan bisa menikmati hidangan itu seperti dirinya karena saya pernah merasakan pedasnya Lombok setan itu. Mulut saya terbuka dan mata sepertinya mau keluar karena rasa panas dan pedas. Rasanya mau meledak. Ini semua gara-gara rasa penasaran dan bisikan pelayan yang menawari saya sambil berbisik: Sambal, toewan?, ungkap Spaanse peper.
Sama hal nya pengalaman jurnalis perempuan yang juga seorang guru, Augusta de Wit yang juga mengunjungi Batavia. Kali pertama mencicipi sambal, menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Bibirnya langsung gemetar kepedasan, leher terasa panas seperti terbakar, sementara itu air mata bercucuran. Untunglah ada seorang pengunjung yang iba dan menyarankan agar ia menaruh sedikit garam di lidah. Nasihat itu manjur, tak lama kemudian siksaan itu berakhir. Sambil terengah-engah, ia bersyukur ia masih hidup. Ia pun bersumpah tidak mau mencoba rijsttafel lagi. Namun, ternyata sumpahnya tidak bertahan lama. Justru Ia malah suka dan terbiasa dengan hidangan pedas itu.
Louis Couperus dalam Oostwaarts (1992, 1924) mengingatkan para turis yang belum pernah mencicipi dasyhatnya sambal oelek untuk berhati-hati. Sebaiknya, tulis Couperus, sambal itu jangan dicampur di nasi, tetapi letakkan di pinggir piring. Lalu Setiap suap nasi yang diiringi daging ayam, sapi atau ikan dicocolkan sedikit sambal.
Selain garam, untukk menghilangkan rasa pedas di mulut, dianjurkan meneguk susu, yoghurt. Minum air apalagi air es. bergelas-gelas air tak akan mampu memadamkan panasnya cabai. Selain susu, bisa juga dengan mengunyah roti, kerupuk, nasi.

Dalam buku resep lama, Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek karya J.M.J Catenius van der Meijden (1903) yang merupakan buku pegangan wajib para perempuan Belanda sebelum datang ke Hindia, tercantum resep Sambal Bajak. Sambal bajak adalah sambal yang berpenampilan kasar, persis sawah yang baru dibajak. Ada juga Sambal Serdadu, sambal terasi yang khusus disiapkan untuk bekal para serdadu pada saat ekspedisi atau bertempur. Bahkan pada masa itu, para keluarga Indo ada yang gemar mengoleskan sambal sebagai beleg (isi roti) di atas rotinya.

Source: Admin @SejarahRI Twitter

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...