Monday, May 20, 2013
Sejarah Pergerakan Boedi Oetomo
Pendidikan di Indonesia berawal dari sejarah sejarah terbentuknya organisasi Boedi Oetomo yang kini dikenang sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Dr. Soetomo salah satunya, Ia mendirikan sekolah Taman Siswa agar warga pribumi juga bisa mengenyam pendidikan.
Dr. Soetomo lahir dari keluarga sederhana. Orang tua Dr. Soetomo menyekolahkanya sampai mendapat gelar Doktor di Stovia. Soetomo tidak tahan melihat rakyat Indionesia yang terpuruk dalam belenggu penjajahan. Ia dengan beberapa mahasiswa lainya bertekad untuk bertindak mengubah keadaan bangsa. Sebagai langkah awal, Ia berniat menyatukan rakyat Indonesia.
Pada masa itu, rakyat Indonesia hidup dengan kelompoknya masing-masing, belum bersatu. Sebagai contoh masyarakat Jawa mendirikan kelompok Orang Jawa dan Indische Bond untuk orang keturunan Indo Jawa dan masih banyak lagi kelompok lain pada masa itu. Boedi Oetomo adalah organisasi pemuda yang didirikan oleh Dr. Sutomo pada tanggal 20 Mei 1908. Boedi Utomo menjadi awal gerakan yang bertujuan mencapai kemerdekaan Indonesia.
Awal berdirinya Boedi Oetomo ketika Boedi Oetomo sering mengadakan pertemuan dan diskusi di perpustakaan School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) oleh mahasiswa seperti Soetomo, Goembrek, Goenawan Mangoenkoesoemo, Saleh, dan Soeleman. Dalam pertemuan itu mereka memikirkan nasib bangsa indonesia yang dianggap bodah dan tidak bermartabat oleh Belanda. Para pejabat tinggi pangreh praja (sekarang pamong praja) yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Bekanda, hanya memikirkan kepentingan sendiri. Tak jarang mereka justru mendindas rakayat dari bangsanya sendir, seperti dengan menarik pajak yang tinggi untuk memuaskan hati penguasa Belanda.
Di sisi laian, mahasiswa menyadari, orang lain hanya mendirikan perkumpulan untuk golongan sendiri yang bersifat eksklusif, tidak menerima orang dari suku atau golongan lain. Seperti Tiong Hoa Hwee Koan untuk orang Tionghoa dan Indische Bond untuk orang Indo-Belanda.
Para pemuda mendapat kesimpulan, bahwa mereka harus memprakarsai perkumpulan untuk rakyat Indonesia. Waktu itu muncul gagasan dari Soetomo, untuk mendirikan perkumpulan yang akan mempersatukan semua orang baik dari suku Jawa, Sunda maupun Madura yang diharapkan bisa memikirkan serta memperbaiki nasib bangsanya. Perkumpulan ini harus bersifat terbuka, tidak eksklusif.
Pada awalnya Boedi Oetomo memusatkan perhatiannya pada penduduk Pulau Jawa dan Madura saja karena, menurut mereka, masyarakat Pulau Jawa dan Madura terikat oleh kebudayaan yang sama.
Pada saat itu para pemuda juga merasa tidak tahu banyak tentang nasib, keadaan, sejarah, dan aspirasi suku-suku bangsa di luar Pulau Jawa dan Madura. Yang mereka tahu, bahwa saat itu orang Manado di Sulawesi mendapat gaji lebih tinggi dan diperlakukan lebih baik daripada orang Jawa, meskipun dari segi pendidikan, keduanya berjenjang sama. Itulah sebabnya pemuda Soetomo dan kawan-kawan tidak mengajak pemuda di luar Jawa untuk bekerja sama, karena khawatir untuk ditolak.
Pada hari Minggu, 20 Mei 1908, pukul sembilan pagi bertempat di salah satu ruang belajar STOVIA, Soetomo memaparkan gagasannya. Dia menyatakan bahwa hari depan bangsa dan Tanah Air ada di tangan mereka. Maka lahirlah gerakan Boedi Oetomo.
Para pemuda juga menyadari bahwa tugas mereka sebagai mahasiswa kedokteran masih banyak, di samping harus berorganisasi. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa “kaum tua” lah yang harus memimpin gerakan Boedi Oetomo, sedangkan para pemuda akan menjadi motor pergerakan organisasi itu.
Sepuluh tahun pertama Boedi Oetomo mengalami beberapa kali pergantian pemimpin organisasi. Para pemimpin kebanyakan berasal kalangan “priayi” atau para bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati Tirtokoesoemo, bekas Bupati Karanganyar (presiden pertama Boedi Oetomo), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo dari Keraton Pakualaman.
Saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo, Boedi Oetomo mengalami fase perkembangan penting. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang mendukung perjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata “politik” ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnya pengertian mengenai “tanah air Indonesia” makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah “Indische Partij” yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali.
Pada masa itu muncul juga Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah menjadi Sarekat Islam oleh Tjokroaminoto, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Keberadaan perkumpulan ini mulai ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu menyebabkan Boedi Oetomo agak terdesak ke belakang. Kemudian kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Boedi Oetomo memang belum berpengalaman.
Dengan gerakan organisasi politik tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh masyarakat luas. Kemudian ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel “Als ik Nederlander was” (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran terhadap Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua temannya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda. Sejak saat itu Boedi Oetomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.
Lain hal nya dengan Goenawan Mangoenkoesoemo yang lebih mengutamakan kebudayaan dari pendidikan, Soewardi menyatakan bahwa Boedi Oetomo adalah manifestasi dari perjuangan nasionalisme. Menurut Soewardi, orang-orang Indonesia mengajarkan kepada bangsanya bahwa “nasionalisme Indonesia” tidaklah bersifat kultural, tetapi murni bersifat politik. Dengan demikian, nasionalisme terdapat pada orang Sumatera maupun Jawa, Sulawesi maupun Maluku.
Pendapat tersebut bertentangan dengan beberapa pendapat yang mengatakan bahwa Boedi Oetomo hanya mengenal nasionalisme Jawa sebagai alat untuk mempersatukan orang Jawa dengan menolak suku bangsa lain. Sama hal nya dengan Sarekat Islam yang juga tidak mengenal pengertian nasionalisme, tetapi hanya mempersyaratkan agama Islam agar seseorang bisa menjadi anggota.
Namun, Soewardi tetap mengatakan bahwa pada hakikatnya akan segera tampak bahwa dalam perhimpunan Boedi Oetomomaupun Sarekat Islam, nasionalisme “Indonesia” ada dan merupakan unsur yang paling penting.
Source: http://uniqpost.com/78272/sejarah-pergerakan-boedi-oetomo/
Labels:
Sejarah
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment