Tuesday, June 4, 2013

Maka Sejarah Berkata Tentang “Sipakatau, Sipakalebbi, Kita Bersaudara”



Selayang pandang dari suatu negeri bernama Makassar.

Hubungan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bima

A. Penaklukan Kerajaan Bima terhadap Kerajaan Gowa
Kerajaan Bima dikuasai kerajaan Gowa sejak tahun 1617. Pada tahun 1625 Sultan Alauddin dengan ekspedisi singgah di Bima yang saat itu sedang  memberontak, untuk menaklukkan Sumbawa, Dompu, dan Kentalu atau Tambora. Atas pertimbangan situasi yang semakin memanas di kawasan selat Makassar, status kerajaan Bima sebagai daerah pengawasan Kerajaan Gowa berubah menjadi dua kerajaan yang sederajat dan membentuk suatu persekutuan untuk menghadapi Kompeni. Perubahan semakin lancar melalui diplomasi perkawinan yakni Sultan Abdul Khair Sirajuddin menikahi adik Sultan Hasanuddin.


Tahun 1646 terjadi perselisihan antara Kerajaan Gowa dengan Kerajaan Bone tentang masalah perbudakan. Hal ini tidak dapat diselesaikan melalui jalan damai sehingga memicu terjadinya perang Bone. Raja Bone La Maddaremmeng saat itu sangat keras menjalankan syariat islam, hingga sangat menentang masalah perbudakan atau hamba sahaya. Raja Bone mengeluarkan dekrit bahwa di dalam Kerajaan Bone tidak ada orang yang boleh memelihara budak. Pada waktu itu banyak pembesar negeri terkena dekrit itu. Adiknya sendiri bernama We Tenrisoloreng menentang dekrit raja tersebut dan pergi meninggalkan Bone menuju Gowa.

Dalam perang saudara ini kerajaan Bima memberi bantuan militer kepada Kerajaan Gowa. Laskar Bima dipimpin sendiri oleh Sultan Abdul Khaer Sirajuddin.Sultan selaku panglima saat itu mengendarai kuda coklat yang diberi nama Kapitang. Kuda ini berasal dari gunung Sangiang. Penampilan Sultan dalam memimpin laskar menunjukkan keberanian yang menajubkan. Karena itu orang Gowa memberikan julukan kepada Sultan Abdul Khaer Sirajuddin sebagai yang “tak terkalahkan oleh orang Bone”. Untuk mengabdikan kewiraan Sultan, kuda tunggangan Sultan sekembalinya di Bima dimerdekakan dan dianggap sebagai kuda sakti kerajaan dan diberi nama Jara Manggila.

Jara Manggila tidak boleh dikandangkan di sembarangan tempat selain di dalam halaman Istana dan tidak boleh ditunggangi oleh siapapun. Bila kuda ini berjalan melewati loji Kompeni diharuskan memberi penghormatan dengan menembakkan meriam sebanyak lima kali.P erang saudara antara Gowa dengan Kerajaan Bone berakhir dengan kemenangan Kerajaan Gowa. Sultan Bone La Maddaremmeng meninggalkan negerinya menyingkir ke daerah Luwu. Kemudian ditangkap dibawa ke Gowa sebagai tawanan perang dan diasingkan ke sebuah tempat yang disebut Sanrangan.Sejak kekalahan itu Kerajaan Bone menjadi daerah taklukan Kerajaan Gowa.

Sementara itu ketika tahun 1660 Kompeni menyerang Somba Opu Ibukota kerajaan Gowa waktu itu dan benteng Panakukang di bawahpimpinan Johan Van Dam dan Johan Truitman. Kerajaan Bima kembali mengirim bantuan militer. Laskar Bima dipimpin oleh Sultan Abdul Khaer Sirajuddin dibantu oleh pejabat tinggi Hadat La Mbila, Bicara Bima. Laskar Bima bahu membahu bersama laskar Gowa mempertahankan Somba Opu.

Laksamana Johan Truitman bersama Johan Van Dan melakukan gerakan semu ke utara seolah-olah menyerang benteng Somba Opu. Laskar Gowa yang mempertahankan benteng Panakukang terpancing ke utara pula,s ehinga benteng itu relative tidak dipertahankan. Sambil membuka serangan dari laut terhadap benteng Somba Opu pasukan Kompeni dengan mudah mendarat dan menduduki benteng Panakukang.
Gencatan senjata segera diadakan, disusul perjanjian perdamaian yang merugikan Kerajaan Gowa. Perjanjian bertanggal 19 Agustus 1660 ditandatangani oleh Karaeng Popo atas nama Sultan Hasanuddin.
Sementara genjatan senjajata berjalan laksamana Johan Tritman berlayar ke Selayar menuju Kerajaan Bima. Di sana laksamana berunding dengan pejabat Kerakaan Bima di pulau Nisa Soma tentang tenggelamnya kapal kompeni diperairan Makassar. Hasilnya diperoleh persetujuan lisan bahwa Kerajaan Bima bersedia melepaskan persekutuannya dengan kerajaan Gowa.

Kemudian perang Somba Opu II kembali tejadi pada tahun 1666, setelah Kompeni kembali mengambil keputusan untuk mengerahkan kekuatan bersenjata keperairan Indonesia Bagian Timur dipimpin Admiral C.Spellman, dengan maksud untuk menyerang Kerajaan Gowa, Kekuatan armada Spelman terdiri dari 21 kapal perang. 600 personil serdadu Belanda, 400 personil serdadu Bone yang dipimpin oleh Aru Palaka dan Kapten Jonker.

Ketika Admiral Spelman melakukan konsolidasi kekuatan dengan meyiapkan serdadu Aru Palaka untuk melakukan penyerangan di darat serta bantuan logistik dari Sultan Buton. Sultan Hasanuddin pun tidak tinggal diam. Sultan bekerja keras membangun benteng pertahanan. Di sepanjang pantai antara Ujung Pandang samapi Somba Opu dibangun kubu-kubu pertahanan dengan tujuan untuk menangkal kemungkinan pendaratan serdadu Kompeni dan sekutu-sekutunya.

B. Bantuan kerajaan Bima terhadap kerajaan Gowa
Benteng Somba Opu dan Panakukang yang pernah dimusnahkan Kompeni, dibangun dan diperbaiki kembali. Untuk mencegah agar Kerajaan Bone tidak melakukan pemberontakan ditunjuk mantan Sultan Bone La Maddaremmeng sebagai kuasa Sultan Gowa di sana. Tindakan politik Kerajaan Gowa terlambat. Tindakan politik sebelumnya menjadikan Kerajaan Bone sebagai daerah takluk, menawan dan mengasingkan Sultan Bone dan Pejabat tinggi kerajaan membuahkan goresan dendam dalam hati rakyat Bone. Rakyat dengan diam-diam bersimpatik kepada Aru Palaka. Rakyat Bone sudah mulai bergejolak.

Setelah Karaeng Bontomarannu meloloskan diri ia kemudian menggabungkan diri guna merlanjutkan perjuangan melawan Kompeni. Demikian pula Sultan Bima Sultan Abdul Khaer Sirajuddin menggabung dengan dengan iparnya Sultan Hasanuddin untuk mempertahankan Kerajaan Gowa dari serangan musuh. Sebelumnya pada tahun itu juga Sultan Bima mengadakan perjanjian dengan Raja Mandar yang dikenal dengan perjanjian Balanipa.

Dengan kekuatan mendekati jumlah 20.000 sedadu, pusat Kerajaan Gowa digempur, benteng Somba Opu dipertahankan dengan gigih akhirnya jatuh ke tangan gabungan Kompeni. Kemudian susul menyusul kerajaan-kerajaan lainnya di Sulawesi Selatan jatuh ke tangan kompeni. Jadi kemenangan yang diperoleh Kompeni pada hakekatnya ialah “kemenangan Aru Palaka” atas Sultan Hasanuddin.

Sejarah mencatat bahwa banyaknya penaklukan di Nusantara, terjadi bukan karena Kompeni mampu menaklukan Nusantara, tapi karena politik adu domba, Sedari awal Kompeni memahami sulitnya mempengaruhi Rakyat Pribumi, karena sangat tunduknya pribumi kepada pemegang Gaukang. Kompeni sulit memahami cara interaksi orang-orang Makassar.

Untuk mengakhiri perang Besar antara kerajaan Gowa dengan Kompeni, keduanya menandatangani sebuah perjanjian di desa Bungaya pada tanggal 18 November 1667 yang dikenal dengan perjanjian Bungaya.

C. Perjanjian Bungaya yang menyangkut masalah Bima
Dari pasal-pasal perjanjian Bungaya yang menyangkut masalah Bima yang dikutip di atas menerangkan kita bahwa:
1. Kewiraan dan kepahlawanan Sultan Abdul Khaer Sirajuddin dan Karaeng Bontomarannu yang melawan Kompeni dengan gigih menduduki bobot yang setaraf.

2. Kerajaan Bima terdaftar sebagai daerah rawan bagi kepentingan Kompeni yang harus diperhitungkan, bagaimana cara melumpuhkannya.

3. Kerajaan Bima terdaftar gagal diikat dengan perjanjian Bungaya dan mengikut sertakan menjadi anggota suatu persekutuan abadi yang dipimpin Kompeni sebagi mana raja-raja di Indonesia Bagian Timur yang terkatub dalam perjanjian karena Sultan Abdul Khaer Sirajuddin bersama Karaeng Bontomarannu tidak mau menandatangani perjanjian dengan memilih melanjutkan perlawanan.

4. Karena putus-asa Kompeni meminjam tangan Kerajaan Gowa agar menyerahkan Sultan Bima dalam keadaan hidup atau mati. Secara tersirat mengandung perintah untuk membunuh Sultan Bima. Selama perintah itu belum berhasil dilaksanakan anggota keluarganya dijadikan sandera. Sultan Abdul Khaer Sirajuddin ialah tokoh yang berbahaya bagi kepentingan Kompeni.

5. Kompeni berhasil secara administrative memutuskan hubungan antara Kerajaan Bima dan Kerajaan Gowa yang selama ini dituntutnya dan selalu pula ditolak.

Maka wajarlah bila Sultan Abdul Khaer Sirajuddin bersama Karaeng Bontomarannu tidak mengakui perjanjian tersebut,dan memilih lebih baik melanjutkan perlawanan di mana dan kapan saja, di darat atau di laut. Kedua tokoh menyadari bahwa menandatangani perjanjian sama saja datang menyerahkan diri kemudian konyol dalan tahanan Bui Kompeni. Guna menghindari jeratan perjanjian terhadap puteranya, putera mahkota Nuruddin untuk melanjutkan perlawanan terhadap Kompeni di Jawa, berjuang bersama Karaeng Bontomarannu alias Karaeng Galesong.

Perjanjian tahun 1669 menamatkan persekutuan antara Bima dengan Kerajaan Gowa. Supremasi Kerajaan Gowa dibinasakan oleh perjanjian Bungaya tahun 1667 dan persekutuan Kerajaan Bima dengan Kerajaan Gowa dipisahkan oleh perjanjian tahun 1669. Melunaknya sikap kompeni terhadap kerajaan Bima memungkinkan penyelesaian perselisihan secara damai.

Persekutuan Kerajaan Bima dengan Kerajan Gowa patut dicatat dalam sejarah. Kepemimpinan Sultan Abdul Khaer Sirajuddin dan keterlibatan Sultan dengan Pabise adalah sumbangan berarti bagi Sultan Hasanuddin. Kerajaan Bima di bawah pimpinan Sultan Abdul Khaer Sirajuddin berperan aktif dalam pencaturan politik di Indonesia Bagian Timur.

D.Kedatangan Islam
Dalam keadaan kemelut di Sape, tiba para mubaliq Islam kiriman Raja Gowa terdiri dari Tallo, Bone, Luwu, dan Gowa. Utusan sebelumnya belum mengetahui bahwa Mangkubumi telah meniggal dunia. Melalui utusan Sultan Gowa meminta bantuan politik dan militer kepada Sultan Gowa. Bantuan dimaksud sangat penting mengingat Raja Ma Ntau Asi Peka memiliki kekuatan yang ampuh guna mengantisipasi setiap kemungkinan yang menghalangi tujuan.
Untuk menghimpun jamaah serta memperingati kejadian bersejarah di Desa Kalodu didirikan masjid. Masjid dibangun berbentuk segi empat benar, tidak bermihrab serta bertiang delapan dengan persegi delapan pula.
Bentuk dan konstruksi mesjid mempunyai makna :
  • Bentuk segi empat melambangkan kesediaan keempat anak raja untuk memeluk agama islam, disaksikan oleh 4 orang mubaliq Islam yang datang dari Tallo, Bone, Luwu, dan Gowa.
  • Tiang delapan batang melambangkan kedelapan orang yang sepakat mempersatukan kekuatan guna mengembang tugas-tugas pada masa yang akan datang.
  • Tiang persegi delapan melambangkan penjuru angin, dimana, kapan dan dalam keadaan bagaimana mereka tetap bersatu.
  • Tiada bermihrab usaha penyamaran mesjid agar tidak mudah dikenal musuh yakni pengikut Raja Salisi.
Menjelang keberangkatan kembali ke-4 orang utusan Sultan Gowa ke negerinya. Jena Teke Abdul Kahir Ma Bata Wadu dengan perantaraan mereka meminta bantuan Sultan Gowa, Bone, dan Luwu agar segera mengirimkan bala bantuan uantuk menumpas Raja Salisi yang berkuasa tidak konstitusional.

Daftar Pustaka

Sejarah Nasional III,Jakarta.1981

Sejarah Bima Dana Mbojo, H.Abdullah Tajib.BA. PT.Harapan Masa. PGRI. Jakarta.1995

Sejarah Gowa. Abd.Razak Daeng Patunru. Yayasan Kebudayaan Sul-Sel dan Tenggara. Makassar.

Catatan kecil dari seorang mahasiswa pecinta sejarah

Source: http://uniqpost.com/79599/maka-sejarah-berkata-tentang-sipakatau-sipakalebbi-kita-bersaudara/

No comments:

Post a Comment

Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...