Tak banyak yang tahu, siapa Tirto Adhi Soerjo, dia adalah seorang pelopor, masterpiece dalam bidang media dan pergerakan nasional yang sesungguhnya.
Kisahnya terangkum jelas dalam buku-buku karya Pramudya Ananta Toer, Tetralogi Pulau Buru. Yang beberapa waktu lamanya di larang beredar oleh penguasa Indonesia dan kembali muncul ketika rezim orde baru runtuh.
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo adalah bangsawan jawa pelopor pembentuk kesadaran nasionalisme. Lewat kecakapannya sebagai pribumi terdidik, lahir organisasi modern pertama; Serikat Priayi (SP).
Organisasi ini tidak berumur panjang, dan tidak pernah kelihatan memimpin kesadaran politik anti penjajah karena di dalamnya tergabung kaum priayi Jawa yang masih memegang teguh status kepriayiannya. Namun organisasi ini telah menjadi media pertama yang secara struktur kaum pribumi mendiskusikan embrio sebuah Nation.
Kesadaran pembentuk nation justru sesungguhnya berasal dari koran bernama Medan Priayi yang didirikan Tirto Adhi suryo pada tahun 1907 dengan format 125 kali 195mm, dengan tebal 22 halaman terbit seminggu sekali.
Kenapa koran tersebut yang menjadi peletak dasarnya? Karena lewat koran inilah gagasan nasionalisme tertulis pertama kali dan dibaca dan menjadi pembentuk kesadaran awal tentang nasionalisme melampaui perbedaan agama, suku, dan organisasi.
Koran tersebut diterbitkan dengan semboyan: Suara orang-orang yang terperintah. Kita masih mengingat bagaimana peranan tulisan telah menentukan proses gerak sejarah bangsa termasuk pembentukan nation, karena tanpa tulisan maka betapa sulitnya menyatukan nusantara yang terdapat lebih dari tiga ratus etnik berbeda di Indonesia, masing-masing dengan identitas budayanya sendiri, dan lebih dari duaratus limapuluh bahasa berbeda yang diucapkan di kepulauan (archipelago)Indonesia.
Pelopor pers nasional
Raden Mas Tirto Adhi Soerjo lahir di Blora tahun 1880 sebagai Raden Djokomono. Ia adalah siswa Stovia di Batavia yang tidak tamat menjadi “dokter Jawa”.Sejak muda, sudah mengirimkan tulisan-tulisan ke sejumlah surat kabar dalam bahasa Belanda dan Jawa. Selama dua tahun, ia ikut membantu Chabar Hindia Olanda, pimpinan Alex Regensburg, kemudian pindah menjadi redaktur Pembrita Betawi, pimpinan F. Wiggers, yang kelak digantikannya.
Setelah menikah dengan R.A. Siti Habibah, ia tinggal di Desa Pasircabe, 3 pal dari ibu kota Kabupaten Bandung. Di sinilah ia ditawari oleh Bupati Cianjur, R.A.A. Prawiradiredja, untuk menerbitkan surat kabar sendiri.
Terbitlah Soenda Berita pada tahun 1903. Inilah surat kabar pribumi pertama berbahasa Melayu, yang dimodali, dicetak, ditangani oleh pribumi. Soenda Berita berhenti terbit tahun 1906.
Tirto Adhi Soerjo tinggal di Bogor, kemudian bersama beberapa prijaji di Batavia, mendirikan Sarikat Prijaji dengan anggota sekira 700 orang dari berbagai daerah di Hindia Belanda.
Sarikat Prijaji menginginkan sebuah surat kabar untuk corong suara mereka yang lebih dari Soenda Berita dan tak mau berisi tentang politik. Maka pada tanggal 1 Januari 1907, diterbitkanlah Medan Prijaji. Sesuai dengan namanya, Medan Prijaji merupakan suara golongan priayi.
Dalam kesibukannya, Tirto Adhi Soerjo mengadakan rapat di rumahnya, di Bogor tanggal 27 Maret 1909 untuk mendirikan Sarekat Dagang Islamiyah. Perkumpulan ini dipimpin Achmad Badjenet, seorang saudagar di Bogor. Tirto Adhi Soerjo sendiri berkedudukan sebagai Sekretaris-Adviseur.
Tahun 1909, Tirto Adhi Soerjo melalui Medan Prijaji membongkar skandal yang dilakukan Aspiran Kontrolir Purworejo A. Simon.
Diberitakan bahwa A. Simon yang disebutnya “snot aap” (monyet ingusan) telah bersekongkol dengan wedana dalam mengangkat seorang lurah di Desa Bapangan. Lurah yang terpilih dengan suara terbanyak malah ditangkap, dikenakan hukuman dan dibuang ke Teluk Betung Lampung.
Sepulang dari pembuangan, Tirto Adhi Soerjo membenahi NV-Medan Prijaji, H.M. Arsyad keluar dari perusahaan, Tirto Adhi Soerjo sendiri menjadi pemimpin perusahaan dengan komisaris Haji Anang Tajib, seorang saudagar besar, dan Haji Amir, saudagar kain, keduanya tinggal di Bandung.
Masa keruntuhan Medan Prijaji dimulai dengan pemberitaan-pemberitaan tentang Bupati Rembang, R. Adipati Djojodiningrat (suami R.A. Kartini) yang dituduh menyalahgunakan kekuasaan pada terbitan 17 Mei 1911, kemudian pemberitaan yang dianggap menghina Residen Ravenswaai dan Residen Boissevain yang dituduh menghalangi putra R. Adipati Djojodiningrat menggantikan jabatan ayahnya.
Tirto Adhi Soerjo pun terkena delik pers dan diputus pengadilan untuk dihukum buang ke Ambon selama 6 bulan. Sementara itu, kesalahan manajemen menyebabkan kesulitan keuangan yang berat hingga akhirnya NV Medan Prijaji dinyatakan pailit.
Medan Prijaji berhenti terbit 22 Agustus 1912. Nasib lebih buruk lagi, Tirto Adhi Soerjo disandera para kreditornya sehingga baru tahun 1913 ia pergi ke tempat pembuangannya. Tirto Adhi Soerjo pergi dengan mental patah dan apa yang sudah dibangunnya ikut runtuh.
Sekembali dari Ambon, ia tinggal di Hotel Medan Prijaji (ketika ia sedang di Ambon namanya diubah menjadi Hotel Samirono oleh Goenawan). Antara tahun 1914-1918, Tirto Adhi Soerjo sakit-sakitan dan akhirnya meninggal pada tanggal 7 Desember 1918.
Mula-mula ia dimakamkan di Manggadua Jakarta kemudian dipindahkan ke Bogor tahun 1973. Di nisannya tertulis: “Perintis Kemerdekaan; Perintis Pers Indonesia”. Layaklah ia disebut sebagai Bapak Pers Nasional.
Namun, gelar Perintis Pers atau Perintis Kemerdekaan saja tidak cukup. Dari jumlah 129 pahlawan nasional yang kita miliki hingga tahun 2006, hanya ada 3 orang yang tercatat pernah sebagai wartawan yaitu, Abdul Muis, Douwes Dekker, dan Adam Malik.
Berdasarkan peraturan pemerintah yang berlaku (UU No 33 Tahun 1964, UU No 22 Tahun 1999, PP Pemerintah tahun 2000, Kep Mensos tahun 1997), Tirto Adhi Soerjo ini memenuhi syarat untuk diajukan sebagai pahlawan nasional dari Jawa Barat.
Meskipun ia bukan orang Sunda, ia berkiprah di Jawa Barat, mengangkat nama Jawa Barat dalam pergerakan nasional, baik melalui pers maupun politik, bahkan kuburannya pun di Jawa Barat.
(Sumber: Ciptatera, Sejarah Bangsa Indonesia, dan beberapa sumber lainnya sebagai referensi perbandingan; Sumber gambar: Merdeka)
Admin @SejarahRI Twitter
No comments:
Post a Comment